Ada sebuah penelitian fantastis yang dilakukan oleh Harvard Study of Adult Development untuk mempelajari apa sebenarnya rahasia kebahagiaan, project fantastis ini dikepalai oleh seorang psikiater ternama yaitu George Vaillant. Kabarnya ini adalah sebuah mega proyek terlengkap dan terpanjang yang pernah dilakukan. Selama 72 tahun, para peneliti merekam dan menganalisa 268 pria yang masuk kuliah di akhir tahun 1930-an dulu, mengikuti mereka disepanjang era perang, karir, pernikahan dan perceraian, serta masa-masa lanjut usia hingga sampai pada waktu kematiannya.
“Positive emotions make us more vulnerable than negative ones. One reason is that they’re future-oriented. Fear and sadness have immediate payoffs—protecting us from attack or attracting resources at times of distress. Gratitude and joy, over time, will yield better health and deeper connections—but in the short term actually put us at risk. That’s because, while negative emotions tend to be insulating, positive emotions expose us to the common elements of rejection and heartbreak.”
Menurut study tersebut, segala sesuatu yang manusia lakukan, terpicu dari sebuah mekanisme pertahanan. Mekanisme ini analoginya sama seperti darah kita yang bisa secara otomatis menjaga keseimbangan tubuh, yaitu dengan cara menggumpal atau bahkan mengental ketika permukaan kulit kita tergores sehingga menjadi/menimbulkan luka. Ketika kita mengalami tekanan atau tantangan hidup apapun, maka jiwa kita akan secara otomatis ‘mengeluarkan reaksi gumpalan emosi tertentu’ untuk mencegah ‘pendarahan jiwa’.
Jadi, sebenarnya; amarah, keputusasaan, kecanduan, dendam, usaha cari perhatian, kekerasan, dan atau bahkan tindakan-tindakan emosional negatif lainnya, sebenarnya adalah usaha Anda (secara otomatis) untuk melindungi diri agar tidak terluka/tertekan lebih jauh. Atau lebih ringkasnya, Anda cenderung bertindak negatif agar bisa merasa positif. Sebuah ironi kehidupan yang harus Kita sadari dan berusaha menghindari.
Ini juga salah satu alasan utama mengapa ada banyak sekali orang yang berkata mereka ingin dicintai, bahagia, dihargai, namun mereka justru malah memanipulasi diri, melakukan hal-hal yang justru membuat merek sulit dicintai, sulit bahagia, dan sulit dihargai. Mereka menutup diri, menyiksa diri, jatuh cinta pada rasa sakit, karena setidaknya rasa sakit itu benar-benar nyata pada saat itu juga (immediate pay-offs), dibandingkan harus beresiko membuka diri, mempelajari dan menunggu kebahagiaan sebenarnya yang memang butuh waktu yang tidak sebentar.
9 Comments
Lokasi fotonya itu dimana? Vintage keren. TV & kipasnya masih hidup nggak? Nggak fokus nih 🙂
Hahaha.. disalah satu cafe dibilangan Jakarta Selatan 😀
Surviving, in a healthy way—mungkin kira-kira begitu ya Pak Andri?
PS: mejanya asyik, agak melengkung (ikut nggak fokus)
dalam pencapaian kebahagiaan harus ada perjuangan dan entah perjuangan seperti apa, bahkan menghalalkan segala cara, ironi
Assalaamu’alaikum wr.wb Andri….
Kebahagiaan itu terletak di hati. Jika hatinya tenang dan bahagia, maka pembawaan itu akan bertampak di luaran sikapnya. Manusia yang tidak tenteram jiwanya sudah pasti hubungannya dengan Allah tidak baik. Oleh itu, dengan mengingati Allah jiwa kita akan tenteram dan bisa mengendali emosi walau sedang dilanda musibah yang besar. Kajian yang bermanfaat untuk dikongsi bersama agar kita faham kelemahan manusia saat berhadapan dengan masalah hidup.
Salam sejahtera dari Sarikei, Sarawak.
Wah bener banget penelitian itu. Ternyata apa yang saya tonton di serial2 barat bener seperti itu. 😀
Orang akan melakukan apapun supaya bisa bahagia, dan cenderung akan mensugesti dirinya sendiri bahwa dia “sudah bahagia”. Dalam sugestinya itulah, orang akan melakukan hal apapun asalkan dia bisa bahagia, termasuk hal2 yang menurut orang banyak adalah negatif. Menutup diri, marah, menyesal, dan banyak lagi sikap yang lain.
Betul banget tuh. Itu yang saya lakukan dulu … Sampai akhirnya harus menelan lebih banyak kekecewaan daripada kebahagiaan.
So much time, so much pain. Ada banyak cerita sedih yang justru mengantarkan saya mencicipi kebahagiaan yang sebenar. Ahh… tiba-tiba mbrebes mili 🙂
[…] pembahasan Paradoks Kebahagiaan di post sebelumnya, kali ini ada sebuah hasil reset lain lagi yang cukup mengagetkan di Universitas […]